Dari sekian banyak musisi berdarah Maluku, nama Alley and Friendz mungkin terdengar asing. Namun, grup band yang dipimpin Alley Unitli/Usmany ini sukses merekatkan komunitas Maluku di Belanda, atau Negeri Kincir Angin.
Alley and Friendz beranggotakan Alley Unitli, Sasha Attapary, Jayde Jaolat, Patrick Unitli, Stef Matitawaer, Chris Soukotta, dan Maurice Matrutty. Band ini lahir pada 2008 atas kecintaan bersama pada Tanah Maluku.
“Kami mulai pada 2008 untuk sebuah pertunjukan musik. Salah satu penyelenggara pasar malam Indonesia di Belanda meminta saya dan saudara saya, Patrick, untuk meramaikan acara. Dari situlah Alley and Friendz terbentuk,” jelas Alley Unitli.
Alley, yang dibesarkan dalam keluarga musisi, sebelumnya berkarier bersama band keluarga, Bubur M, selama 30 tahun, aktif tampil di berbagai acara besar di Belanda.
Berbeda dengan Bubur M, Alley and Friendz lebih menonjolkan nuansa Maluku dalam musik dan lirik. Perpaduan jazz, city pop, hingga Hawaiian dengan lirik Melayu Maluku menciptakan suasana “rumah” bagi komunitas Maluku di Belanda.
“Kami bangga bisa menyanyikan lagu berbahasa Melayu Maluku. Ayah saya, juga seorang musisi, mengajarkan bagaimana bermusik dengan tetap mempertahankan budaya Maluku, termasuk memilih musik yang sesuai untuk acara komunitas di Belanda,” jelas Alley.
Alley and Friendz tak terpaku pada satu genre. Setiap lagu menampilkan warna irama berbeda. Misalnya, lagu Maluku yang Beta Cinta menggambarkan kerinduan seorang anak Maluku yang jauh dari kampung halaman. Disajikan dengan jazz mendayu, lagu ini menekankan cinta dan rindu pada tanah kelahiran.
Lagu tersebut tercipta pada 2016, saat Alley merindukan Maluku, terinspirasi cerita ayahnya tentang kampung halaman di Maluku Barat Daya, tepatnya Pulau Babar.
Begitu juga lagu Ingin Pulang ke Ambon, meski temanya kerinduan, dibawakan dengan irama ceria dan kombinasi alat musik Hawaiian yang apik. Liriknya menggambarkan rindu terhadap aktivitas dan keluarga di kampung halaman.
Selain itu, Alley and Friendz juga memiliki lagu santai seperti Subidubab yang bernuansa disko, dan Timang Cengkeh di Saparua.
Dengan kualitas musik yang unik dan asik, Alley and Friendz tampil sebagai pembeda di tengah tren musik Maluku saat ini yang banyak mengarah ke slow pop bertema percintaan dan galau.
“Semua orang punya musik yang mirip, tapi Alley and Friendz hadir sebagai pembeda,” tutup Alley.
Tampilan busana blink blink tiga vokalis Alley and Friendz membawa Gen Z dan milenial di Ambon kembali ke era 1980-an, selaras dengan musik yang mereka suguhkan.
Para penonton pun terbawa suasana, menari dan berdansa menikmati alunan musik band asal Belanda ini.
“Di Move It Fest kemarin, kami sempat ragu apakah penonton bisa menerima musik kami, tapi ternyata antusiasmenya luar biasa,” ucap Alley.
Meski Alley and Friendz telah meraih popularitas di Belanda, Alley menilai perkembangan musik di Maluku kini berada pada level tersendiri. Munculnya penyanyi-penyanyi muda dengan ciri khas masing masing justru menambah kekayaan belantika musik Indonesia.
Namun, kata Alley, musisi Maluku harus bangga menggunakan bahasa Maluku dalam karya mereka. Hal ini sekaligus memperkenalkan identitas budaya Maluku kepada masyarakat luas.
“Kalau koe mimpi jadi popstar, hargai musik yang koe bawa dari hati, percayalah pada diri sendiri,” ujar Alley dalam dialek Maluku.
Penyelenggara Mega Move It Fest menilai kehadiran Alley and Friendz memberikan nuansa baru dan membangkitkan kembali ciri khas musik Maluku.
“Dengan penampilan Alley and Friendz, acara ini bukan sekadar festival musik, tapi juga perayaan kultur musik Maluku,” kata Festival Director Mega Move It Fest 2024, Andrian Brahma.
Saat ini, jumlah masyarakat Maluku di Belanda diperkirakan sekitar 70.000 orang, mayoritas berasal dari Maluku Tengah. Komunitas ini heterogen secara agama, dengan 72 persen Protestan, 16 persen Katolik, dan 12 persen Muslim.
Lewat musik, Alley and Friendz berhasil menghapus sekat dan meneguhkan semangat basudara (bersaudara) bagi masyarakat Maluku di Negeri Belanda.





